
Jakarta –
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) pribadi memutus permohonannya tanpa menyimak informasi dari pemerintah dan DPR. Boyamin meminta Somasi Diputus hal itu alasannya yakni MK akan menggelar sidang perkelahian hasil pilkada (PHP).
Hal itu disampaikan Boyamin dalam sidang dengan nomor permasalahan 160/PUU-XXII/2024 dan pekara 163/PUU-XXII/2024 di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2024). Mulanya, Boyamin menyodorkan perbaikan tuntutan terhadap MK.
Kemudian, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengesahkan perbaikan yg diajukan oleh Boyamin. Saldi pun meminta Boyamin menanti proses persidangan.
“Ini semoga (cepat), alasannya yakni kan sengketa pilkada, kami tidak tahu mampu atau tidak dipercepat proses pemutusannya,” kata Saldi.
Baca Juga : Tema Hari Ibu Nasional Ke-96 Tahun 2024 Serta Maknanya
Boyamin kemudian mengajukan permohonannya. Boyamin meminta MK secepatnya memutus perkaranya tanpa menyimak keterangan dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
“Berdasarkan Pasal 54 UU MK, Yang Mulia, jadi mohon Somasi Diputus saja, Yang Mulia, tak mendengar informasi dewan perwakilan rakyat dan pemerintah, Yang Mulia,” kata Boyamin yg disambut tawa oleh Saldi Isra.
Saldi mengatakan ajuan itu mulai dibahas dalam pertemuan pemusyawaratan hakim (RPH). Saldi menyodorkan keputusannya mulai disampaikan terhadap Boyamin.
“Nanti dipertimbangkan, akan kalian sampaikan di RPH,” ujar Saldi.
Berikut petitum permasalahan 160/PUU-XXII/2024 sebelum diubah:
(2) Menyatakan kata “Kepala Negara” pada Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tak punya kekuatan aturan mengikat sepanjang tak dimaknai dengan “Presiden yg masa jabatannya sama dengan kandidat Pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas KPK”;
(3) Menyatakan kata “Pemerintah” pada Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak punya kekuatan aturan mengikat sepanjang tak dimaknai dengan “Pemerintah yang masa jabatannya sama dengan kandidat Pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas KPK”;
Diubah menjadi:
(2) Menyatakan frasa “Kepala Negara” Pasal 30 Ayat 1 UU 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tak punya kekuatan aturan mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Kepala Negara hanya satu kali menyerahkan hasil pansel KPK terhadap dewan perwakilan rakyat yg masa jabatan Kepala Negara sama dengan kandidat pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas”.
(3) Menyatakan frasa “Pemerintah” pada Pasal 30 Ayat 2 UU 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak milik kekuatan aturan mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Pemerintah cuma satu kali membentuk pansel yg masa jabatan pemerintah sama dengan kandidat pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas”.
Kemudian, berikut petitum permasalahan 163/PUU-XXII/2024 sebelum diubah:
(2) Menyatakan kata “Presiden” pada Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tak milik kekuatan aturan Somasi Diputus mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Presiden yang masa jabatannya sama dengan kandidat Pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas KPK”;
Diubah menjadi:
(2) Menyatakan frasa “Kepala Negara” Pasal 30 Ayat 1 UU 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlainan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tak milik kekuatan aturan mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Presiden cuma sesuatu kali menyerahkan hasil pansel KPK terhadap dewan perwakilan rakyat yg masa jabatan Kepala Negara sama dengan kandidat pimpinan KPK dan kandidat Dewan Pengawas”.