Meski dunia terus maju, dan kesadaran akan hak-hak kesehatan kian meluas, kenyataan pahit masih menghantui jutaan perempuan: kesehatan menstruasi masih menjadi isu sosial yang terpinggirkan. Di tahun 2023, menstruasi belum sepenuhnya lepas dari stigma, tabu, dan minimnya akses terhadap informasi serta fasilitas yang layak, terutama di negara berkembang — termasuk Indonesia.
Menstruasi: Proses Alami yang Masih Dihakimi
Menstruasi adalah proses biologis alami yang dialami sekitar setengah populasi dunia. Namun, hingga saat ini, banyak perempuan dan anak perempuan masih dipaksa untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka sedang menstruasi. Mereka malu membeli pembalut di toko, takut ditertawakan jika temannya tahu mereka “datang bulan”, bahkan merasa bersalah jika tidak bisa beribadah karena haid.
Di sejumlah wilayah, menstruasi masih dianggap najis, kotor, atau bahkan kutukan. Akibatnya, perempuan mengalami pengucilan sosial, dikucilkan dari ruang publik, bahkan dilarang masuk dapur atau tempat ibadah saat sedang haid. Tak sedikit sekolah yang tidak menyediakan toilet layak untuk ganti pembalut atau tempat cuci tangan yang memadai — kondisi ini memperburuk stigma dan mengancam kesehatan.
Data Bicara: Angka yang Mengkhawatirkan
Menurut laporan UNICEF dan Plan International tahun 2023, sekitar 1 dari 4 anak perempuan di Asia Tenggara memilih tidak masuk sekolah saat menstruasi, karena minimnya fasilitas sanitasi dan rasa malu. Di Indonesia, studi oleh Kementerian Kesehatan mencatat bahwa hanya 1 dari 2 remaja perempuan yang memiliki pemahaman benar tentang siklus menstruasi.
Lebih menyedihkan lagi, banyak dari mereka tidak mendapatkan edukasi menstruasi dari orang tua atau sekolah. Pembicaraan soal menstruasi masih dianggap tabu, bahkan dalam lingkup keluarga. Hal ini menyebabkan maraknya mitos, seperti larangan keramas saat haid atau anggapan bahwa haid yang tidak teratur adalah hal sepele, padahal bisa menjadi tanda gangguan kesehatan serius.
Keterbatasan Akses Produk Menstruasi
Tahun 2023 juga masih menyisakan ironi: produk kebersihan menstruasi belum bisa diakses oleh semua kalangan. Pembalut, tampon, hingga menstrual cup masih dianggap mahal oleh sebagian perempuan, terutama di pedesaan atau wilayah terpencil. Tak sedikit yang akhirnya menggunakan kain bekas atau tisu sebagai pengganti, yang tentu saja tidak higienis dan berisiko menyebabkan infeksi.
PBB mencatat, ini adalah bentuk kemiskinan menstruasi (menstrual poverty) — di mana perempuan tidak mampu membeli produk menstruasi yang layak. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal keadilan dan kesetaraan dalam akses kesehatan.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Meskipun tantangan masih besar, berbagai pihak mulai bergerak. Sejumlah LSM dan organisasi kesehatan mulai mengkampanyekan pentingnya pendidikan menstruasi di sekolah-sekolah. Beberapa brand produk menstruasi bahkan menyediakan pembalut gratis di tempat umum atau bekerja sama dengan pemerintah untuk edukasi.
Beberapa negara seperti Skotlandia dan India sudah lebih maju — dengan kebijakan pembalut gratis di sekolah dan tempat umum. Indonesia sendiri mulai merintis langkah serupa lewat program “Sekolah Ramah Anak” dan pelatihan guru untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi.
Namun, ini baru permulaan. Perlu keterlibatan lebih luas: dari pemerintah, media, guru, orang tua, hingga komunitas, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan saat menstruasi.
artikel lain : Urban Farming Bisa Turunkan Stres?
Peran Media dan Influencer
Di era digital, media sosial menjadi alat penting dalam mengubah persepsi. Influencer dan konten kreator perempuan mulai berbicara terbuka tentang haid, berbagi pengalaman, dan mengedukasi publik. Mereka membongkar mitos, memperkenalkan produk menstruasi alternatif, hingga mendorong percakapan terbuka di ruang publik.
Salah satu kampanye viral di 2023 adalah #HaidBukanAib yang mengajak remaja berbicara tentang menstruasi secara terbuka di media sosial. Kampanye ini berhasil menjangkau jutaan pengguna dan mendapat dukungan dari sejumlah tokoh publik dan selebritas.
Menstruasi dan Masa Depan yang Setara
Menstruasi bukan hanya isu biologis. Ini adalah isu hak asasi manusia, pendidikan, dan kesetaraan gender. Saat perempuan tidak bisa mengakses produk menstruasi, mereka kehilangan kesempatan belajar, bekerja, dan hidup dengan nyaman. Saat haid menjadi bahan ejekan, perempuan kehilangan rasa percaya diri. Saat edukasi menstruasi diabaikan, kesehatan reproduksi pun terancam.
Sudah saatnya kita memperlakukan menstruasi sebagai hal yang normal, bukan tabu. Tahun 2023 mungkin belum sempurna, tapi menjadi momentum penting untuk membongkar stigma dan membangun masa depan yang lebih sehat dan setara bagi semua perempuan.
!